latest articles
MANTRA SANG KIAI
Judul
Buku : Rantau 1 Muara
Pengarang : A. Fuadi
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun
Terbit : Mei 2013 Cetakan Pertama
Tebal
Buku : ± 24 mm
Harga
Buku : Rp 75.000,-
Peresensi : Nanang Eko SaputroMerantau ke negeri orang, mendapat beasiswa, gajian dolar, keliling marcapada hingga mendapatkan garwa. Anak cucu Adam dan Hawa mana yang tidak tergiur dengan semuanya. Setiap insan manusia pasti menginginkan yang terbaik bagi dirinya. Seperti petuah “Fastabiqul khairat. Berlomba-lomba menuju kebaikan”. Namun tidak semudah membalikkan telapak tangan semuanya bisa dicapai dalam sekejap mata. Harus ada ikhtiar, tawakal, dan mantra kepada Tuhan.
Nukilan
syair Imam Syafi’i “...Merantaulah, kau akan mendapat pengganti kerabat dan
teman.... Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang....”,
mampu melecutkan ghiroh Alif Fikri
untuk merantau meninggalkan kampung halamannya Bayur Danau Maninjau demi
memenuhi kehendak Amaknya untuk nyantri
di Pondok Madani (PM). Bermula dari PM, Alif mendapatkan mantra dari sang
kiai untuk bekal hidup dan matinya. Mantra mujarab yang membuatnya mendapatkan
pelbagai beasiswa dan membawanya merantau keliling marcapada.
Lulus dari
PM, Alif melanjutkan perantauannya sebagai mahasiswa Unpad. Mantra sang kiai mujarab dia terapkan “Man jadda
wajada: siapa yang bersungguh-sungguh
akan berhasil”. Alhasil Alif berkesempatan mengharumkan almamater kampusnya
sebagai Duta Muda ke Kanada selama satu tahun dan sebagai visiting student di The National University of Singapore selama
satu semester. Namun ada coretan impian gila Alif dengan spidol merah di atas
peta dunia yang belum dia wujudkan “Aku ingin ke Amerika”.
Mendapatkan
beasiswa, tidak memudurkan niat Alif untuk tetap menulis dan melayangkan
tulisannya ke koran dan tabloid Bandung. Dia beringat mantra sang kiai “Jika
kau bukan anak raja dan anak ulama besar, maka menulislah.” Walhasil beberapa
tulisannya sering dimuat di koran dan tabloid Bandung. Alif pun diminta sebagai
penulis kolom tetap oleh redaktur koran Warta Bandung. Honor teratur dan hadiah
lomba karya tulis yang berjuta-juta membuat hidupnya sejahtera. Kiriman untuk
Amak dan biaya sekolah adik-adiknya pun meningkat drastis.
Tumbangnya
Orde Baru 1998 memaksa Alif kehilangan mata pencaharian sebagai penulis. Satu
per satu surat lamaran kerja yang dikirimkan lewat Kantor Pos Besar Bandung mendapat
balasan yang menyatakan penolakan kerja hingga membuatnya terlilit utang dan dikejar-kejar
deep colector. “Innamaal yusri yusro: bersama setiap kesulitan pasti ada kemudahan”.
Hampir putus asa akan peliknya hidup, selang beberapa hari kemudian Alif menerima
surat kilat yang berisi penerimaan kerja sebagai jurnalis majalah Derap,
majalah yang sempat dibredel selama lima tahun pada masa orde baru. Merantau ke
Jakarta sebagai jurnalis membuat hidup Alif berubah 180 derajat.
Derap adalah
sebuah apartemen bagi Alif. Ruang Kliping dan musola kantor menjadi kamar
tidurnya selama 194 hari lebih. Derap adalah tempat mata pencaharian utama dan menjadi
titik awal berseminya benih cinta Alif dengan seorang gadis berdarah Minang, Dinara
putri dari Sutan Rangkayo Basa. Keduanya menjadi rekan kerja yang cocok. Dinara
pula yang menjadi Guru bagi Alif dalam meraih beasiswa S2 Fulbrigh di Amerika Serikat.
Setelah meminang Dinara. Mereka merantau ke
Amerika dan tinggal di apartemen Old York di kawasan Foggy Bottom. Alif kuliah
S2 di George Washington University dan bekerja di Ticket Master. Dinara bekerja
sebagai book seller di salah satu
toko buku terbesar di dunia, Borders. Mereka berdua juga diminta untuk menjadi koresponden
Derap dan wartawan Voice of Amerika (VOA) di Amerika. Setelah penabalan Alif
menjadi Master of Arts, dalam tempo seminggu Alif diterima kerja di media
internasional American Broadcasting Network (ABN) bersama Dinara. Mereka
sekarang sudah menjadi penduduk Amerika kelas menengah. Kaum DINK: Double Income, No Kids.
Sudah tiga
lebaran merantau, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Tanah Air dengan
menggenggam tiket keliling Eropa selama 30 hari. Mantra sang kiai rupanya telah
ampuh mereka terapkan selama mengarungi hidup bersama. “Man saara ala darbi
washala :siapa yang berjalan di jalannya, akan sampai tujuan”. Kerja di
Jakarta, gaji Amerika sebagai special
representative ABN di Jakarta.
Membaca “Daster Macan” cerita pertama yang menjadi awal
mula dari Rantau 1 Muara membuat ketagihan dan penasaran untuk mengkhatamkan 45
cerita selanjutnya sampai habis. Seperti “Wawancara Pocong”, “Wajah di Ujung
Tangga”, “Sutan Rangkayo Basa”, “Sakura dan Segerobak Buku”, “Dehaman dari New
York”, dan “Muara di Atas Muara”. Judul cerita yang bisa menyihir untuk
membayangkan dan merasakan kondisi yang sedang berlangsung. Seolah-olah menjadi
tokoh utama yang berada dalam cerita tersebut .
Kelebihan
dari novel ini adalah setiap judul cerita merupakan judul yang unik dan mampu
menjadi ruh dari setiap cerita. Novel dikemas dengan pilihan diksi yang apik
dalam setiap cerita, apalagi novel ini mengombinasikan pengalaman hidup sang
penulis dengan mantra sang kiai sebagai inspirasi dalam menjalani hidup, mencapai
impian hidup, dan mengambil hikmah dari setiap kejadian melalui berbagai macam dinamika kehidupan yang
diperjuangakan. Mantra sang kiai tersebut adalah Man jadda wajada; Man shabara
zhafira; Man saara ala darbi washala; Fastabiqul khairat; Innamaal yusri yusro;
Man Yazra yahsud; Man thalabal ula sahirul layali; Khairunnas anfa’uhum linnas;
An nasu a’dau ma jahilu; Iza katsura rakhusa; Aduwwun aqilun khairun min
shadiqin jahilin.
Penasaran
ingin memahami lebih dalam makna dari mantra sang kiai tersebut, caranya
gampang tinggal beli Novel Rantau 1 Muara di Toko Buku terdekat dan dapatkan
juga trilogi 5 menara yang lainnya, dijamin pasti tidak rugi.
Secara
blak-blakan novel ini menitahkan kepada pembaca untuk merantau. Merantau untuk mencari ilmu, merantau untuk masa depan,
merantau untuk hidup yang lebih baik, merantau untuk meraih impian. Seperti
yang telah diskriptakan dalam novel tersebut. Bertualanglah sejauh mata
memandang. Mengayuhlah sejauh lautan terbentang. Bergurulah sejauh alam
terkembang.
Read more
Langlang dan Berjuta Isak Harapan
| Generasi Muda Desa Langlang |
Generasi muda yang berlimpah ruah di
seluk dan pelosok desa Langlang. Benih-benih harapan yang harus dijaga
kelestariannya dan dibimbing menuju lorong cita-cita yang mereka inginkan.
Generasi yang masih terbuai akan nikmatnya masa kecil yang sedang dijalaninya. Mereka
bergelut di tengah-tengah hiruk pikuk arus globalisasi yang mereka sendiri pun
belum mengerti akan hal itu. Berjuang belajar mencari ilmu. Ayunan langkah kaki
kecil mereka yang mungil dengan tujuan pergi sekolah. Ya itu adalah anak desa
Langlang. Melihat mereka seperti melihat diri sendiri beberapa tahun yang
silam. Kelak suatu saat mereka pasti akan mencapai impian yang mereka inginkan.
Semoga. Aammiinn.
Pengabdianku dan teman-teman seperjuanganku di
Langlang. Satu bulan setengah semoga memberikan dampak yang baik kepada
masyarakat sekitar. Pengabdian yang Aku artikan sebagai suatu ikhtiar total
untuk bersumbangsih terhadap keberlangsungan generasi muda bangsa ini agar
terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Pengabdian yang membutuhkan
pengorbanan akal, pikiran, tenaga, waktu, dan biaya. Kuncinya adalah ikhlas. Pengorbanan
yang akan terobati dengan canda tawa dan niat mereka dalam menjalani kerasnya
hidup di negeri ini. Mungkin mereka belum bisa menikmati dampak positif
globalisasi yang bisa kita rasakan baik itu dalam dunia, internet dan
komunikasi. Ya Tuhan kuatkanlah mereka dalam mengarungi kehidupan ini dan
mudahkanlah jalanku dan teman-temanku dalam waktu yang singkat ini untuk
bercampur baur dengan kehidupan masyarakat sekitar, memahami akan kerasnya
hidup di luar batas keidealan yang selama ini kami perjuangkan di kampus.
Berjuta isak harapan mulai terasa
ketika pertama kali menginjakkan kaki di desa ini. Desa dengan sumber mata air
yang berlimpah ruah. Pertemuan ini adalah awal dari kami untuk belajar
bersosialisasi dengan masyarakat. Mencoba mengerti dan menjalani hidup di luar kebiasaan
yang sering kami lakukan. Ridhoilah perjalanan kami ini Tuhan. Aammiinn.
Bagiku sekarang dan teman-teman seperjuangan
yang terpenting adalah PENGABDIAN
BUKANLAH PENGORBANAN MELAINKAN KEHORMATAN. PENGABDIAN ADALAH PERSEMBAHAN DARI
HATI YANG TIDAK MATI.
Read more
Autis
Tak ada yang harus ditulis
Sudah terwarta
Sudah terskripta
Bebas, lepas, dan jelas
Biarlah aku autis
Di sini
Sendiri
Di perpustakaan
Kawan
Read more
Sudah terwarta
Sudah terskripta
Bebas, lepas, dan jelas
Biarlah aku autis
Di sini
Sendiri
Di perpustakaan
Kawan
Manusia-Manusia Itu
![]() |
| Manusia-Manusia Itu |
Terimakasih Tuhan
Engkau telah menciptakan manusia
manusia yang menyayangi manusia, manusia yang membenci manusia
manusia yang benar-benar manusia, manusia yang berpura-pura manusia
Read more
Mampukah Diri Ini?
| Sejenak Diam, Menundukkan Kepala, dan Merenung |
Mampukah aku mengenalnya?
Sudahkah aku tahu jejak rekamnya?
Bagaimanakah aku mengenalnya?
Kapan aku mampu mengenalnya?
Sampai kapan diri ini akan tidak mengenalnya?
Read more
Buku Itu Untuk Dibaca
| Buku Nanang Eko Saputro |
Semangat juang dalam membaca harus digalakkan, detik ini, saat ini juga, dan jangan tunggu lama-lama. Semakin banyak waktumu kau gunakan untuk membaca, semakin banyak pula yang kamu ketahui.
Terserah mau membaca tentang hal apa saja no problem asalkan itu memberi manfaat yang positif bagi si pembaca dan orang lain. Mau baca cerpen silahkan, baca novel silahkan, kitab kuning silahkan. Masalah politik silahkan baca saja, pendidikan juga oke, mau masalah sosial? luar biasa itu mengingat banyaknya masalah sosial di Negeri kita ini.
Langganan:
Komentar (Atom)







