latest articles

Batu Kelabu

Alasan saya sudah tidak beralasan lagi, sudah basi seperti nasi tertumpuk tinggi.
Kalau kau tanya, aku sudah tak lagi bisa berkata 
Kalau kau cubit, aku sudah tak lagi bisa menjerit
Aku sudah kaku seperti batu kelabu

[18/02/14.Nanang Eko]
Read more

MANTRA SANG KIAI

Judul Buku       : Rantau 1 Muara
Pengarang       : A. Fuadi
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit    : Mei 2013 Cetakan Pertama
Tebal Buku      : ± 24 mm
Harga Buku     : Rp 75.000,-
Peresensi         : Nanang Eko Saputro

Merantau ke negeri orang, mendapat beasiswa, gajian dolar, keliling marcapada hingga mendapatkan garwa. Anak cucu Adam dan Hawa mana yang tidak tergiur dengan semuanya. Setiap insan manusia pasti menginginkan yang terbaik bagi dirinya. Seperti petuah “Fastabiqul khairat. Berlomba-lomba menuju kebaikan”. Namun tidak semudah membalikkan telapak tangan semuanya bisa dicapai dalam sekejap mata. Harus ada ikhtiar, tawakal, dan mantra kepada Tuhan.
Nukilan syair Imam Syafi’i “...Merantaulah, kau akan mendapat pengganti kerabat dan teman.... Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang....”, mampu melecutkan ghiroh Alif Fikri untuk merantau meninggalkan kampung halamannya Bayur Danau Maninjau demi memenuhi kehendak Amak­­­­­­nya untuk nyantri di Pondok Madani (PM). Bermula dari PM, Alif mendapatkan mantra dari sang kiai untuk bekal hidup dan matinya. Mantra mujarab yang membuatnya mendapatkan pelbagai beasiswa dan membawanya merantau keliling marcapada.
Lulus dari PM, Alif melanjutkan perantauannya sebagai mahasiswa Unpad. Mantra  sang kiai mujarab dia terapkan “Man jadda wajada: siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil”. Alhasil Alif berkesempatan mengharumkan almamater kampusnya sebagai Duta Muda ke Kanada selama satu tahun dan sebagai visiting student di The National University of Singapore selama satu semester. Namun ada coretan impian gila Alif dengan spidol merah di atas peta dunia yang belum dia wujudkan “Aku ingin ke Amerika”.
Mendapatkan beasiswa, tidak memudurkan niat Alif untuk tetap menulis dan melayangkan tulisannya ke koran dan tabloid Bandung. Dia beringat mantra sang kiai “Jika kau bukan anak raja dan anak ulama besar, maka menulislah.” Walhasil beberapa tulisannya sering dimuat di koran dan tabloid Bandung. Alif pun diminta sebagai penulis kolom tetap oleh redaktur koran Warta Bandung. Honor teratur dan hadiah lomba karya tulis yang berjuta-juta membuat hidupnya sejahtera. Kiriman untuk Amak dan biaya sekolah adik-adiknya pun meningkat drastis.
Tumbangnya Orde Baru 1998 memaksa Alif kehilangan mata pencaharian sebagai penulis. Satu per satu surat lamaran kerja yang dikirimkan lewat Kantor Pos Besar Bandung mendapat balasan yang menyatakan penolakan kerja hingga membuatnya terlilit utang dan dikejar-kejar deep colector. “Innamaal yusri yusro: bersama setiap kesulitan pasti ada kemudahan”. Hampir putus asa akan peliknya hidup, selang beberapa hari kemudian Alif menerima surat kilat yang berisi penerimaan kerja sebagai jurnalis majalah Derap, majalah yang sempat dibredel selama lima tahun pada masa orde baru. Merantau ke Jakarta sebagai jurnalis membuat hidup Alif berubah 180 derajat.
Derap adalah sebuah apartemen bagi Alif. Ruang Kliping dan musola kantor menjadi kamar tidurnya selama 194 hari lebih. Derap adalah tempat mata pencaharian utama dan menjadi titik awal berseminya benih cinta Alif dengan seorang gadis berdarah Minang, Dinara putri dari Sutan Rangkayo Basa. Keduanya menjadi rekan kerja yang cocok. Dinara pula yang menjadi Guru bagi Alif dalam meraih beasiswa S2 Fulbrigh di Amerika Serikat.
 Setelah meminang Dinara. Mereka merantau ke Amerika dan tinggal di apartemen Old York di kawasan Foggy Bottom. Alif kuliah S2 di George Washington University dan bekerja di Ticket Master. Dinara bekerja sebagai book seller di salah satu toko buku terbesar di dunia, Borders. Mereka berdua juga diminta untuk menjadi koresponden Derap dan wartawan Voice of Amerika (VOA) di Amerika. Setelah penabalan Alif menjadi Master of Arts, dalam tempo seminggu Alif diterima kerja di media internasional American Broadcasting Network (ABN) bersama Dinara. Mereka sekarang sudah menjadi penduduk Amerika kelas menengah. Kaum DINK: Double Income, No Kids.
Sudah tiga lebaran merantau, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Tanah Air dengan menggenggam tiket keliling Eropa selama 30 hari. Mantra sang kiai rupanya telah ampuh mereka terapkan selama mengarungi hidup bersama. “Man saara ala darbi washala :siapa yang berjalan di jalannya, akan sampai tujuan”. Kerja di Jakarta, gaji Amerika sebagai special representative ABN di Jakarta.
            Membaca “Daster Macan” cerita pertama yang menjadi awal mula dari Rantau 1 Muara membuat ketagihan dan penasaran untuk mengkhatamkan 45 cerita selanjutnya sampai habis. Seperti “Wawancara Pocong”, “Wajah di Ujung Tangga”, “Sutan Rangkayo Basa”, “Sakura dan Segerobak Buku”, “Dehaman dari New York”, dan “Muara di Atas Muara”. Judul cerita yang bisa menyihir untuk membayangkan dan merasakan kondisi yang sedang berlangsung. Seolah-olah menjadi tokoh utama yang berada dalam cerita tersebut .
Kelebihan dari novel ini adalah setiap judul cerita merupakan judul yang unik dan mampu menjadi ruh dari setiap cerita. Novel dikemas dengan pilihan diksi yang apik dalam setiap cerita, apalagi novel ini mengombinasikan pengalaman hidup sang penulis dengan mantra sang kiai sebagai inspirasi dalam menjalani hidup, mencapai impian hidup, dan mengambil hikmah dari setiap kejadian  melalui berbagai macam dinamika kehidupan yang diperjuangakan. Mantra sang kiai tersebut adalah Man jadda wajada; Man shabara zhafira; Man saara ala darbi washala; Fastabiqul khairat; Innamaal yusri yusro; Man Yazra yahsud; Man thalabal ula sahirul layali; Khairunnas anfa’uhum linnas; An nasu a’dau ma jahilu; Iza katsura rakhusa; Aduwwun aqilun khairun min shadiqin jahilin.
Penasaran ingin memahami lebih dalam makna dari mantra sang kiai tersebut, caranya gampang tinggal beli Novel Rantau 1 Muara di Toko Buku terdekat dan dapatkan juga trilogi 5 menara yang lainnya, dijamin pasti tidak rugi.

            Secara blak-blakan novel ini menitahkan kepada pembaca untuk merantau. Merantau untuk mencari ilmu, merantau untuk masa depan, merantau untuk hidup yang lebih baik, merantau untuk meraih impian. Seperti yang telah diskriptakan dalam novel tersebut. Bertualanglah sejauh mata memandang. Mengayuhlah sejauh lautan terbentang. Bergurulah sejauh alam terkembang.
Read more

Langlang dan Berjuta Isak Harapan

Generasi Muda Desa Langlang

          Generasi muda yang berlimpah ruah di seluk dan pelosok desa Langlang. Benih-benih harapan yang harus dijaga kelestariannya dan dibimbing menuju lorong cita-cita yang mereka inginkan. Generasi yang masih terbuai akan nikmatnya masa kecil yang sedang dijalaninya. Mereka bergelut di tengah-tengah hiruk pikuk arus globalisasi yang mereka sendiri pun belum mengerti akan hal itu. Berjuang belajar mencari ilmu. Ayunan langkah kaki kecil mereka yang mungil dengan tujuan pergi sekolah. Ya itu adalah anak desa Langlang. Melihat mereka seperti melihat diri sendiri beberapa tahun yang silam. Kelak suatu saat mereka pasti akan mencapai impian yang mereka inginkan. Semoga. Aammiinn.
           Pengabdianku dan teman-teman seperjuanganku di Langlang. Satu bulan setengah semoga memberikan dampak yang baik kepada masyarakat sekitar. Pengabdian yang Aku artikan sebagai suatu ikhtiar total untuk bersumbangsih terhadap keberlangsungan generasi muda bangsa ini agar terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Pengabdian yang membutuhkan pengorbanan akal, pikiran, tenaga, waktu, dan biaya. Kuncinya adalah ikhlas. Pengorbanan yang akan terobati dengan canda tawa dan niat mereka dalam menjalani kerasnya hidup di negeri ini. Mungkin mereka belum bisa menikmati dampak positif globalisasi yang bisa kita rasakan baik itu dalam dunia, internet dan komunikasi. Ya Tuhan kuatkanlah mereka dalam mengarungi kehidupan ini dan mudahkanlah jalanku dan teman-temanku dalam waktu yang singkat ini untuk bercampur baur dengan kehidupan masyarakat sekitar, memahami akan kerasnya hidup di luar batas keidealan yang selama ini kami perjuangkan di kampus.
          Berjuta isak harapan mulai terasa ketika pertama kali menginjakkan kaki di desa ini. Desa dengan sumber mata air yang berlimpah ruah. Pertemuan ini adalah awal dari kami untuk belajar bersosialisasi dengan masyarakat. Mencoba mengerti dan menjalani hidup di luar kebiasaan yang sering kami lakukan. Ridhoilah perjalanan kami ini Tuhan. Aammiinn.

          Bagiku sekarang dan teman-teman seperjuangan yang terpenting adalah PENGABDIAN BUKANLAH PENGORBANAN MELAINKAN KEHORMATAN. PENGABDIAN ADALAH PERSEMBAHAN DARI HATI YANG TIDAK MATI.
Read more

Autis

Tak ada yang harus ditulis
Sudah terwarta
Sudah terskripta
Bebas, lepas, dan jelas

Biarlah aku autis

Di sini
Sendiri
Di perpustakaan
Kawan
Read more

Manusia-Manusia Itu


Manusia-Manusia Itu
Terimakasih Tuhan
Engkau telah menciptakan manusia
manusia yang menyayangi manusia, manusia yang membenci manusia
manusia yang benar-benar manusia, manusia yang berpura-pura manusia
Read more

Mampukah Diri Ini?


Sejenak Diam, Menundukkan Kepala, dan Merenung
Siapakah diri ini?
Mampukah aku mengenalnya?
Sudahkah aku tahu jejak rekamnya?
Bagaimanakah aku mengenalnya?
Kapan aku mampu mengenalnya?
Sampai kapan diri ini akan tidak mengenalnya?
Read more

Buku Itu Untuk Dibaca

Buku Nanang Eko Saputro
Semangat juang dalam membaca harus digalakkan, detik ini, saat ini juga, dan jangan tunggu lama-lama. Semakin banyak waktumu kau gunakan untuk membaca, semakin banyak pula yang kamu ketahui.

Terserah mau membaca tentang hal apa saja no problem asalkan itu memberi manfaat yang positif bagi si pembaca dan orang lain. Mau baca cerpen silahkan, baca novel silahkan, kitab kuning silahkan. Masalah politik silahkan baca saja, pendidikan juga oke, mau masalah sosial? luar biasa itu mengingat banyaknya masalah sosial di Negeri kita ini.
Read more